Surah As Syu' ara’ ayat 197 tafsirnya,
" Apakah tidak (cukup) menjadi bukti bagi mereka, bahawa para ulama Bani Israil mengetahuinya?"
dan surat Al Fathir petikan ayat 28,
".... Sesungguhnya di antara hamba2 Allah yang takut padaNya, hanyalah para ulama (orang yang mengetahui ilmu kebesaran dan kekuasaan Allah swt). Sungguh Allah Maha Perkasa Maha Pengampun."
Simpulan daripada dua ayat ini menunjukkan perkataan ulama adalah merujuk kepada orang yang menguasai ilmu Islam yang sangat mendalam sehingga ilmu tersebut membawa dirinya memiliki sifat khasyyah (rasa takut berlatar belakangkan pengetahuan terhadap kebesaran Dzat yang ditakutinya dan kesempurnaan kekuasaanNya iaitu hanya kepada Allah swt saja).
AlQuran ada menceritakan perihal orang yang memiliki kriteria khasyyah ini adalah seperti kata-kata ulul albab atau cendekiawan muslim. Mereka yang disanjung tinggi oleh AlQuran sebagai orang yang memiliki sifat khasyyah, memiliki martabat mulia, banyak berzikir, bertaqwa, mencapai darjat keimanan dan keyakinan yang tinggi, komitmen dengan syariat Islam dan ajarannya.
Petikan ayat 7 firman Allah swt dalam Surah Al Imran yang bermaksud,
”Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “kami beriman kepadanya (AlQuran/ayat-ayat mutasyabihat), semuanya itu dari sisi Tuhan kami” dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan ulil albab (orang yang berakal).
Secara umumnya ciri2 ulul albab atau ulama' disentuh pada ayat 100 Surah Al Maidah, ayat 10 Surah At Tholaq, ayat 179 dan 197 Surah Al Baqarah. Semua ayat tersebut menceritakan kriteria utama seorang ulil albab atau ulama adalah bersifat khasyyah yang diungkapkan dengan istilah ketaqwaan yang tinggi kepada Allah swt. Ini bermakna golongan ini komited melaksanakan semua perintah Allah swt dan menjauhi semua laranganNya. Orang yang tidak memiliki kriteria demikian tidak layak untuk disebut ulama.
Kriteria lebih terperinci yang harus dimiliki oleh seorang ulama atau ulil albab dinyatakan dalam AlQuran seperti berikut:
1. Orang yang selalu mengingati Allah swt baik dalam keadaan berdiri, dalam solat, duduk ataupun berbaring ketika tidak mampu duduk atau berdiri ..(maksud petikan ayat 191 Surah Al Imran).
2. Selalu bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi, bagaimana langit ditinggikan tanpa tiang, bagaimana bintang diciptakan di langit dan bagaimana bumi dihamparkan, bagaimana gunung ganung ditegakkan yang di bawahnya dialiri sungai yang banyak. Tafakkur demikian tentang semua ciptaan Allah akan menambah keimanan ulama . (tafsir petikan ayat 190 Surah Al Imran)
3. Menjauhi penyembahan thogut(berhala), syaitan atau suatu selain Allah swt. (petikan ayat 17 Surah Az Zumar). Kalau masih percaya atau mengabdikan diri kepada jin, azimat atau khadam lainnya bukanlah termasuk orang muslim apatah lagi ulama, walaupun dia dikenali sebagai kiai, dukun atau ustaz atau ahli surau.
4. Menyerahkan semua urusan kepada Allah swt dan hanya Allah swt sahaja yang disembahnya.(petikan ayat 17 Surah Az Zumar). Orang yang masih menyandarkan diri pada tok dukun, ahli nujum atau hal syirik lainnya tidak berhak digelar ulama.
5. Selalu mengikuti hal-hal yang terbaik (dari kitab AlQuran) dari semua pendapat (ajaran lain) yang didengarnya kemudian direalisaikan dalam bentuk perbuatan dan sikap atau ucapannya (petikan ayat 18 Surah Az Zumar ). Ulama memiliki sifat bertolak ansur atau toleran terhadap pendapat orang lain. Jika ada pendapat yang lebih baik (berlandaskan AlQuran) dia akan mengikuti pendapat tersebut. Para imam mazhab tidak pernah merasa bahawa pendapatnyalah yang paling benar. Mereka amat lapang dada mendengar pendapat orang lain walaupun berbeza atau bertentangan pendapatnya. Itulah ciri ulama.
6. Sentiasa memenuhi janji Allah swt mengakui rububiyyatullah dan memenuhi apa yang diajarkan Allah swt dalam kitab suciNya.(petikan ayat 20 Surah Ar Ra’d).
7. Tidak melanggari perjanjian yang telah dimeterai antara mereka dengan Allah swt atau dengan manusia (petikan ayat 20 Surah Ar Ra’d). Perjanjian adalah suatu hutang yang perlu dilunaskan. Melanggar perjanjian dengan sengaja merupakan ciri munafik. Ulama amat jauh dari perbuatan ini.
8. Menghubungkan suatu yang diperintahkan Allah swt untuk dihubungkan seperti menyambung semula hubungan silaturrahim, mengeratkan tali persaudaraan sesame mukmin, beriman terhadap semua nabi dan menjaga semua hak manusia. (petikan ayat 21 Surah Ar Ra’d).
9. Memiliki sifat khasyyaah Ammah(rasa takut yang luar biasa kepada Allah swt) dan keagunganNya. (petikan ayat 21 Surah Ar Ra’d) Ulama hakiki akan lebih mudah dan banyak menangis menampakkan keanggunan dan kewibawaannya yang penuh khasyyah daripada ketawa terbahak-bahak.
10. Takut kepada keburukan hari hisab(petikan ayat 21 Surah Ar Ra’d). Rasa takut ini dapat dilihat pada tutur bicaranya dan semua perbuatannya menjauhi semua larangan Allah swt. Mereka selalu menghisab dirinya terlebih dahulu sebelum mereka dihisab nanti pada hari kiamat. Muhasabatunnafsi (selalu merenung, menilai dan memeriksa diri ke lubuk hati) bagi ulama adalah kewajipan yang dilakukan setiap hari.
11. Memiliki kesabaran dalam menghadapi semua beban, kesulitan dan mushibah di dunia serta senantiasa menentang kehendak hawa nafsu.(petikan ayat 22 Surah Ar Ra’d) Semua perintah Allah swt adalah kewajiban yang harus dilaksanakan secara istiqamah dan penuh kesabaran. Tatkala ditimpa musibah, ujian dan dugaan harus dihadapinya dengan kesabaran demi merebut keredhaanNya.
12. Mendirikan solat (berjemaah) dan memeliharanya agar jangan sampai terlewat waktu atau kurang memenuhi syarat rukunnya.( petikan ayat 22 Surah Ar Ra’d) Bukanlah seorang ulama kalau suka melewatkan atau meninggalkan solat atau mengabaikan kewajiban agama, walaupun ia dari keturunan kiai.
13. Menginfakkan sebahagian hartanya baik dalam keadaan rahsia atau terangan untuk kepentingan jihad fisabilillah atau bentuk sedekah lainnya.(petikan Ayat 22 Surah Ar Ra’d 22).
14. Menolak kejahatan dengan membuat kebaikan ( petikan ayat 22 Surah Ar Ra’d). Rasulullah saw bersabda yang bermaksud, "Hendaknya kamu menghapus kejahatan dengan cara melakukan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menghapus kejahatan dan Pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik." (merujuk ayat 96 Surat Al Mu’minun)
Itulah beberapa sifat dan kriteria yang mesti dimiliki para ulama atau ulil albab. Wallahu a’lam. (petikan penulisan Artikel Achmad Satori Ismail)
Kita bincang topik pemimpin pula. Pemimpin dalam sebuah negeri/negara memegang peranan penting dalam menentukan jatuh bangun hidup rakyat yang berbilang bangsa. Pemimpin yang baik akan mengajak rakyatnya berbuat baik dan memberikan contoh serta tauladan yang terbaik. . Kita mahukan pemimpin yang memiliki kepemimpinan ideal dan berpengaruhnya terhadap kehidupan rakyatnya,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ :
1- إِمَامٌ عَادِلٌ
2- وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ
3- وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ
4- وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
5- وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ
6- وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
7- وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاه (رواه البخاري)
maksudnya, “ Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada tempat bernaung kecuali dengan naunganNya :
1. Pemimpin yang adil
2. Pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Tuhannya
3. Seseorang yang hatinya selalu tertambat dengan masjid
4. Dua orang yang saling mencinta karena Allah; mereka bertemu dan berpisah hanya karena-Nya.
5. Seorang laki-laki yang diajak (berbuat mesum) oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi cantik, lalu laki-laki tersebut menolak dan berkata: "saya takut kepada Allah"
6. Seseorang mengeluarkan sedekah secara sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.
7. Seseorang yang berdzikir kepada Allah dengan menyendiri, lalu air matanya mengucur."
Hadis di atas mengisyaratkan kepada kita bahawa pemimpin yang adil akan mendapat naungan Allah swt. Merujuk kitab Al Quran ciri pemimpin yang adil adalah seorang soleh, memiliki ketangguhan fisik, keluasan ilmu, bekerja secara profesional dan seorang yang amanah.
Allah swt berfirman,
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
maksudnya, “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur (seluruh kitab yang diturunkan kepada nabiNya), sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh” (Surah Al Anbiya’ ayat 105)
Allah berfirman :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيم
maksudnya, "Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab : “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) berkata : “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui”
(Surah Al Baqarah ayat 247)
Dengan firman Allah swt tersebut dapatlah kita ketahui seorang pemimpin hendaklah;
a. Mampu menegakkan keadilan terhadap rakyat, tidak menzalimi mereka
b. Memastikan suasana aman dan damai
c. Memenuhi dan menyedia keperluan asas rakyat
d. Berilmu, sihat, beramal demi kesejahteraan rakyat
Terpilihnya pemimpin yang adil menurut hadis di atas akan membawa impak positif buat rakyatnya seperti;
1. Tumbuhnya generasi muda yang giat beribadah. Dalam hadits di atas disebutkan : وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّه ( Pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Tuhannya ). Para pemuda berminat untuk aktif melakukan aktiviti berorientasi ibadah. Ini akan membendung masalah sosial seperti pelajar yang tuang sekolah, pemabuk, menghisap dadah, pemaksit dan perbuatan negatif lainnya..
2. Mencipta masyarakat yang cinta masjid (وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ )
Pemimpin yang adil mendorong rakyatnya untuk menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan. Ayat-ayat Allah dikaji dari perbagai perspektif daripada membuang masa lepak di kafe, kelab, kompleks beli belah, panggung wayang dan sebagainya.
3. Membina hubungan sosial yang berlandaskan prinsip saling mahabbah, (cinta);
( وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ )
Dalam Islam hubungan antara masyarakat diukur dengan kedekatan atau jarak seseorang dengan Allah swt. Seorang muslim harus mencintai diri dan ahli keluarganya dahulu kerana institusi kekeluargaan menjadi teguh jika mencintai Allah swt dan mentaati perintahNya.
4. Mercipta masyarakat anti pornografi
) وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ )
Pemimpin yang adil ambil berat dan prihatin dengan moral anak bangsanya. Di antara agenda pemimpin yang adil yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw adalah menggalakkan hubungan pasangan berlawan jenis sesuai dengan syariat islam dan menolak setiap tindakan yang dapat mengundang kepada perbuatan zina, hubungan sama jenis, pornografi, pornoaksi dan seks bebas.
5. Mercipta masyarakat yang suka berkorban dan empati terhadap yang lemah
)وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُه )
Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang berkorban demi kesejahteraan bangsanya. Pemimpin seperti ini pasti akan diikuti oleh rakyatnya. Rakyat juga pasti rela berkorban untuk kemaslahatan bersama.
6. Mercipta masyarakat yang gemar beribadah dalam keheningan (tahajjud)
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاه
Masyarakat yang benar2 mencintai Allah swt menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan ibadah qiamullail yang akan menjauhkan maksiat, dan melahirkan masyarkat yang bersih hatinya, beriman dan bertaqwa kepada Sang Pencipta.
Mudah-mudahan kita memiliki dan memilih pemimpin yang mememnuhi ciri kepimpinan adil yang diisyaratkan oleh Allah swt dan RasulNya. (petikan artikel Harjani Hefni)
1- إِمَامٌ عَادِلٌ
2- وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ
3- وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ
4- وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
5- وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ
6- وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
7- وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاه (رواه البخاري)
maksudnya, “ Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada tempat bernaung kecuali dengan naunganNya :
1. Pemimpin yang adil
2. Pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Tuhannya
3. Seseorang yang hatinya selalu tertambat dengan masjid
4. Dua orang yang saling mencinta karena Allah; mereka bertemu dan berpisah hanya karena-Nya.
5. Seorang laki-laki yang diajak (berbuat mesum) oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi cantik, lalu laki-laki tersebut menolak dan berkata: "saya takut kepada Allah"
6. Seseorang mengeluarkan sedekah secara sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.
7. Seseorang yang berdzikir kepada Allah dengan menyendiri, lalu air matanya mengucur."
Hadis di atas mengisyaratkan kepada kita bahawa pemimpin yang adil akan mendapat naungan Allah swt. Merujuk kitab Al Quran ciri pemimpin yang adil adalah seorang soleh, memiliki ketangguhan fisik, keluasan ilmu, bekerja secara profesional dan seorang yang amanah.
Allah swt berfirman,
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
maksudnya, “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur (seluruh kitab yang diturunkan kepada nabiNya), sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh” (Surah Al Anbiya’ ayat 105)
Allah berfirman :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيم
maksudnya, "Nabi mereka mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab : “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) berkata : “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui”
(Surah Al Baqarah ayat 247)
Dengan firman Allah swt tersebut dapatlah kita ketahui seorang pemimpin hendaklah;
a. Mampu menegakkan keadilan terhadap rakyat, tidak menzalimi mereka
b. Memastikan suasana aman dan damai
c. Memenuhi dan menyedia keperluan asas rakyat
d. Berilmu, sihat, beramal demi kesejahteraan rakyat
Terpilihnya pemimpin yang adil menurut hadis di atas akan membawa impak positif buat rakyatnya seperti;
1. Tumbuhnya generasi muda yang giat beribadah. Dalam hadits di atas disebutkan : وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّه ( Pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Tuhannya ). Para pemuda berminat untuk aktif melakukan aktiviti berorientasi ibadah. Ini akan membendung masalah sosial seperti pelajar yang tuang sekolah, pemabuk, menghisap dadah, pemaksit dan perbuatan negatif lainnya..
2. Mencipta masyarakat yang cinta masjid (وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ )
Pemimpin yang adil mendorong rakyatnya untuk menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan. Ayat-ayat Allah dikaji dari perbagai perspektif daripada membuang masa lepak di kafe, kelab, kompleks beli belah, panggung wayang dan sebagainya.
3. Membina hubungan sosial yang berlandaskan prinsip saling mahabbah, (cinta);
( وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ )
Dalam Islam hubungan antara masyarakat diukur dengan kedekatan atau jarak seseorang dengan Allah swt. Seorang muslim harus mencintai diri dan ahli keluarganya dahulu kerana institusi kekeluargaan menjadi teguh jika mencintai Allah swt dan mentaati perintahNya.
4. Mercipta masyarakat anti pornografi
) وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ )
Pemimpin yang adil ambil berat dan prihatin dengan moral anak bangsanya. Di antara agenda pemimpin yang adil yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw adalah menggalakkan hubungan pasangan berlawan jenis sesuai dengan syariat islam dan menolak setiap tindakan yang dapat mengundang kepada perbuatan zina, hubungan sama jenis, pornografi, pornoaksi dan seks bebas.
5. Mercipta masyarakat yang suka berkorban dan empati terhadap yang lemah
)وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُه )
Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang berkorban demi kesejahteraan bangsanya. Pemimpin seperti ini pasti akan diikuti oleh rakyatnya. Rakyat juga pasti rela berkorban untuk kemaslahatan bersama.
6. Mercipta masyarakat yang gemar beribadah dalam keheningan (tahajjud)
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاه
Masyarakat yang benar2 mencintai Allah swt menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan ibadah qiamullail yang akan menjauhkan maksiat, dan melahirkan masyarkat yang bersih hatinya, beriman dan bertaqwa kepada Sang Pencipta.
Mudah-mudahan kita memiliki dan memilih pemimpin yang mememnuhi ciri kepimpinan adil yang diisyaratkan oleh Allah swt dan RasulNya. (petikan artikel Harjani Hefni)
(hadis riwayat Imam an-Nasa'i, Abu Daud, dan Tirmidzi, berdasarkan penuturan Abu Sa'id al-Khudry ra dan Abu Abdillah Thariq bin Syihab al-Bajily al-Ahnasyi)
Sedikit sekali orang yang berani melakukannya, iaitu menunjukkan atau membuktikan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng. Namun sejarah telah merakamkan seorang yang berani bernama Thawus al-Yamani. Beliau adalah seorang tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi saw, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi saw yang masih hidup. Namun ketika itu tidak seorang pun sahabat Rasulullah saw yang masih hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan dengan seorang tabi'in.
Datanglah Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika menghadap, Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya ketika akan menginjak permadani yang dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudian ia terus sahaja meluru masuk ke dalam tanpa mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk menanti kedatangannya. Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja, "Assalamu'alaikum," dan terus duduk di samping khalifah seraya bertanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"
Melihat perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau sangat murka. Hampir sahaja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh Thawus. Melihat gelagat yang demikian, tiba-tibaThawus berkata, "Ingat, Anda berada dalam wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah swt dan tanah suci RasulNya). Kerana itu, demi tempat yang mulia ini, anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk seperti itu!"
"Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?" tanya khalifah.
"Apa yang aku lakukan?" Thawus bertanya balik.
Dengan geram khalifah pun berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki dan terus duduk di depan permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelaranku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa meminta izinku. Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?"
"Wahai Hisyam!" jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku kerana aku juga menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah 'Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu."
"Aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali ra pernah berkata bahawa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan isterinya karena syahwat atau tangan anak-anaknya kerana kasih sayang."
"Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; kerananya aku enggan untuk berbohong."
"Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelaran kebesaranmu lantaran Allah swt memanggil para kekasihNya di dalam AlQuran hanya dengan sebutan nama semata, seperti Ya Daud, Ya Yahya, Ya 'Isa; dan memanggil musuh-musuhNya dengan sebutan seperti Abu Lahab...."
"Aku duduk persis di sampingmu lantaran ku dengar Amiirul Mukminin Ali ra pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."
Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang terkandung di dalamnya, khalifah pun bertafakkur. Lalu ia berkata, "Benar sekali apa yang anda katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasihat sehubungan dengan kedudukan ini!" "Kudengar Amiirul Mukminin Ali ra berkata dalam satu nasihatnya," jawab Thawus, "Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular berbisa dan kala jengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya."
Mendengar jawapan dan nasihat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tanpa sepatah kata pun. Ia menyedari bahawa menjadi seorang pemimpin dan penguasa harus bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyatnya. Setelah berbincang beberapa lamanya perihal masalah yang penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri. Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan nasihat yang diberi.
Anda ada berani macam Thawus?..
Apapun selamat menunaikan tanggungjawab mengundi pada PRU ke 13.. Selamat pergi dan balik membuat undi je tau.. kalau sebelum dan selepas mengundi tu menyinggah booth itu atau mengintai khemah sini dan terjadi sesuatu yang tidak diingini.. sendiri tanggung..
Sedikit sekali orang yang berani melakukannya, iaitu menunjukkan atau membuktikan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng. Namun sejarah telah merakamkan seorang yang berani bernama Thawus al-Yamani. Beliau adalah seorang tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi saw, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka. Dikisahkan, suatu ketika Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Di saat itu beliau meminta agar dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi saw yang masih hidup. Namun ketika itu tidak seorang pun sahabat Rasulullah saw yang masih hidup. Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan dengan seorang tabi'in.
Datanglah Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika menghadap, Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya ketika akan menginjak permadani yang dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudian ia terus sahaja meluru masuk ke dalam tanpa mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang tengah duduk menanti kedatangannya. Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam biasa saja, "Assalamu'alaikum," dan terus duduk di samping khalifah seraya bertanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"
Melihat perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau sangat murka. Hampir sahaja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh Thawus. Melihat gelagat yang demikian, tiba-tibaThawus berkata, "Ingat, Anda berada dalam wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah swt dan tanah suci RasulNya). Kerana itu, demi tempat yang mulia ini, anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk seperti itu!"
"Lalu apa maksudmu melakukakan semua ini?" tanya khalifah.
"Apa yang aku lakukan?" Thawus bertanya balik.
Dengan geram khalifah pun berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki dan terus duduk di depan permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelaranku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa meminta izinku. Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?"
"Wahai Hisyam!" jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku kerana aku juga menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah 'Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu."
"Aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali ra pernah berkata bahawa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan isterinya karena syahwat atau tangan anak-anaknya kerana kasih sayang."
"Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; kerananya aku enggan untuk berbohong."
"Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelaran kebesaranmu lantaran Allah swt memanggil para kekasihNya di dalam AlQuran hanya dengan sebutan nama semata, seperti Ya Daud, Ya Yahya, Ya 'Isa; dan memanggil musuh-musuhNya dengan sebutan seperti Abu Lahab...."
"Aku duduk persis di sampingmu lantaran ku dengar Amiirul Mukminin Ali ra pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."
Mendengar jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang terkandung di dalamnya, khalifah pun bertafakkur. Lalu ia berkata, "Benar sekali apa yang anda katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasihat sehubungan dengan kedudukan ini!" "Kudengar Amiirul Mukminin Ali ra berkata dalam satu nasihatnya," jawab Thawus, "Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular berbisa dan kala jengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya."
Mendengar jawapan dan nasihat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tanpa sepatah kata pun. Ia menyedari bahawa menjadi seorang pemimpin dan penguasa harus bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyatnya. Setelah berbincang beberapa lamanya perihal masalah yang penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus al-Yamani pun meminta diri. Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat dan lega dengan nasihat yang diberi.
Anda ada berani macam Thawus?..
Apapun selamat menunaikan tanggungjawab mengundi pada PRU ke 13.. Selamat pergi dan balik membuat undi je tau.. kalau sebelum dan selepas mengundi tu menyinggah booth itu atau mengintai khemah sini dan terjadi sesuatu yang tidak diingini.. sendiri tanggung..
No comments:
Post a Comment